Porotku Indah .. Porotku Sayang ..
Deg-degan, takut , khawatir semua ada dibenaka saya ketika saya mendengar pertama kali guru mengatakan kegiatan “live in”. Perasaan saya itu terbawa sampai hari keberangkatan Live In. Kekhawatiran saya mencapai klimaks pada saat saya mengetahui bahwa saya mendapat lokasi di “POROT”.
“Porot adalah desa paling plosok didaerah puncak sumowono. Disana tidak ada air, tidak ada penerangan, jauh dari keramaian, dan jarang ada alat transportasi umum”. Eittss ,, itu kata teman-teman saya. Tidak semuanya benar. Porot memang desa paling plosok di puncak Sumowono, tetapi tetap ada penerangan dan saluran air walaupun disana jarang dilewati alat transportasi umum dan jauh dari keramaian.
Dibalik itu semua, Porot bak mutiara didasar laut terdalam , karena Porot menyimpan sejuta keindahan. Keindahan tempatnya, keindahan, keasrian lingkungannya, dan keramahan masyarakat disana membuat siapapun betah tinggal disana.
2-6 April 2011
Sabtu. 2 April 2011 adalah hari penerjunan dan penyerahan. Saya dan teman-teman berkumpul disekolah untuk pembagian lokasi dan kelompok. Setelah itu anak-anak diterjunkan. kelompok saya adalah Nita, Dimas. Michael, Una, Deni, Dio, Edu, Gratia, Narwastu dan Indri. Karena Porot adalah desa paling jauh dan plosok, maka kelompok diantar paling terakhir. Saya dan teman-teman menunggu selama 3 jam dengan perasaan harap-harap cemas.
Setelah hamper 1 jam perjalanan dari sekolah ke Porot, akhirnya sampai juga. Penerjunan dan penyerahan dilakukan dirumah Bapak Bangun dan Ibu Danik. Berbincang-bincang dan pengenalan lalu satu per satu diantar ke rumah warga.
Sekarang giliran saya untuk diantar. Bhooomm . kesan pertama saya ketika melihat rumah baru saya. Sambil menahan rasa takut, saya berkata dalam hati “aku takut, gimana yaa orang tuanya?”. Keadaan rumah saya nyaman. Kamar sayapun lumayan nyaman, hanya saja saya takut karena lampu dikamar saya redup dan dimasukkan kedalam lampu badai, sehingga terkesan menakutkan. Ditambah dengan keindahan yang dapat saya lihat dari belakang rumah saya. Saya dapat melihat 4 gunung berjejer ( Telomoyo, Ungaran, Merbabu, Merapi). Orang tua saya bernama Bapak Elisa dan Ibu Mujiati. Pertama kali saya bertemu orang tua baru saya, saya merasakan perasaan yang gak enak. Dingin, tidak banyak bicara, tidak suka bercanda adalah kesan yang saya lihat dari kedua orang tua baru saya.
Ibu Mujiati adalah seorang guru SD di sekitar Porot dan Bapak Elisa adalah seorang pendeta di GPDI Porot.. Bapak Elisa selalu sibuk karena maklum bapak adalah seorang pendeta. Ibu Mujiati orangnya malu-malu dan sedikit cuek. Canggung, kikuk, takut adalah yang saya rasakan ketika ingin membuka pembicaraan. Karena memang susah sekali untuk membuka pembicaraan dengan bapak ataupun ibu. Namun, bapak dan ibu sangat baik dan perhatian terhadap saya.
Bapak dan Ibu mempunyai 3 oarang anak laki-laki. Anak yang pertama bernama Elkana , yang kedua bernama Natanael, dan yang paling kecil adalah kak Ariel. Tiga-tiganya kuliah dan hampir sarjana semua (di Salatiga dan Yogyakarta ). Kebetulan ketika saya tinggal dirumah bapak dan ibu, kak Elkana dan kak Ariel pulang. kehadiran mereka, saya seakan menemukan sosok kakak yang selama ini saya dambakan, karena saya anak tunggal.
Masyarakat Porot mayoritas beragama Kristen. Keluarga yang saya tempatipun beragama Kristen. Saya diajak untuk mengenal agama Kristen. Ikut sekolah minggu, ibadat, kumpul kamuda di GPDI adalah kegiatan yang saya ikuti. Saya merasa senang karena masyarakat Porot begitu ‘welcome’ dengan kedatangan dan keikutsertaan saya dan teman-teman dalam kegiatan rohani mereka. Keakraban dan keramahan masyarakat disana membuat saya betah tinggal disana.
Keluarga baru saya memang keluarga yang bisa dianggap sibuk, karena bapak dan ibu bekerja semua. Saya sempat merasa sedih karena saya sulit sekali untuk membuka komunikasi dengan mereka. Saya juga merasa kesepian dirumah karena kak Elkana dan kak Ariel kembali kuliah. Kegiatan yang saya lakukan dirumah adalah membantu ibu melakukan pekerjaan ruma dan membantu bapak untuk beternak. Bapak dan ibu mempunyai ladang tetapi jarang dikunjungi karena bapak dan ibu sibuk. Karena bapak dan ibu sibuk, saya sempat tidak betah dan ingin pulang.
Membuat lenteng bersama bapak Petrus, membuat gula jawa bersama bapak Yakobus, merumput dengan ibu Anik adalah kegiatan yang saya lakukan bersama teman-teman saya. Saya dan teman-teman saya juga saling kunjung-mengunjungi. Dihari terakhir, saya mengunjungi salah satu tempat di Porot yang menyuguhkan panorama dan keindahan yang luar biasa. Tempat tersebut adalah Watu Payung. Watu Payung adalah tempat sembahyang orang-orang Budha. kira-kira 1 jam perjalanan dari Porot ke Watu Payung dengan jalan kaki. Saya dan teman-teman dapat melihat banyak tempat dari atas situ, karena Watu Payung berada dipuncak atau daerah tinggi. Saya dan teman-teman takjub dan merasa senang., berkeliling dan berfoto bersama. Sebenarnya masih ada 1 tempat lagi yang belum dikunjungi yaitu Air Terjun. Tetapi, sudah waktunya saya dan teman-teman untuk pulang atau penarikan.
2 hari pertama Live In saya memang sempat sedih, menangis ingin pulang. Tetapi, 2 hari terakhir saya benar-benar merasakan Live In yang sebenarnya.
Saya dan teman-teman merasa betah dan tidak ingin pulang. Saya dan teman-teman memutuskan untuk mengulur-ulur waktu supaya lebih lama berada di Porot karena kami sengaja agar bisa berlama-lama di Porot. Saya dan teman-teman belum siap apapun pada saat pembimbing menjemput. Akibatnya, kami ditinggal bus jemputan. Saya dan teman-teman menunggu bus jemputan hingga berjam-jam. Saya tidak enak terhadap bapak dan ibu karena harus menunggu saya dijemput. Pada saat menunggu, saya dan teman-teman berbincang-bincang tentang kesan dan pesan dengan bapak dan ibu. Disitu saya dan teman-teman terharu dan menangis bahagia. Saya dan teman-teman berjanji kepada bapak dan ibu apabila ada waktu luang saya dan teman-teman akan berkunjung ke Porot.
Perpisahan dengan bapak dan ibu adalah moment yang paling mengharukan karena saat itu saya merasa betah dan sudah kerasan berada di Porot dan tinggal di keluarga bapak Elisa. Namun, saya harus pulang. Setelah menunggu lama, akhirnya bus jemputan datang juga. Saya dengan rasa berat hati meninggalkan bapak dan ibu, melanjutkan kegiatan pengendapan di Griya Asisi Bandungan.
Griya Asisi Bandungan , indah, megah, putih, bak bangunan-bangunan Eropa dan Hogwards. Saya dan teman-teman sampai hampir maghrib dengan muka lesu dan siap-siap untuk dimarahi guru karena kenakalan saya dan teman0teman yang tidak mau pulang. Kegiatan dilanjutkan dengan pengendapan oleh Romo Asodo. Dalam pengendapan saya diajak untuk menggali apa yang sudah didapat dalam Live In dan untuk apa. Saya merasa senang sekali mendapat pembekalan dari Romo Asodo dan Live In saya. Tak lupa juga, di Griya Asisi Bandungan makanan SANGAT terjamin, hahaha.
Kesimpulannya adalah ….
Porotku Indah Porotku Sayang ,
Live In-ku ini tak akan pernah ku lupa seumur hidupku, akan selalu mengenag didalam hatiku.
Banyak pengalaman hidup yang aku dapat.
Terima kasih untuk keluarga bapak Elisa dan Ibu Mujiati khususnya, saya merasakan sebuah keluarga yang hangat. Terima kasih ..
Terima kasih pula untuk keluarga bapak Yakobus, bapak Petrus, Ibu Anik, masyarakat Porot, jemaat GPDI, pembimbing, Romo Asodo, Griya Asisi, bus jemputan, teman-teman dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Terima kasih semua.
POROT KU INDAH POROT KU SAYANG J J J